Satu Pemikiran Sumbangsih Untuk Bangsa

Senin, 03 Oktober 2011

Peningkatan Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Menuju Terciptanya Good Governance

Memasuki era reformasi, masyarakat Indonesia mulai diperkenalkan dengan istilah Good Governance. Akademisi, pemerhati ekonomi dan lembaga internasional semakin kencang menyerukannya, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan pemerintahan. Istilah Good Governance sendiri pertama kali digunakan pada World Development Report tahun 1989.  Good Governance berarti tata laksana pemerintahan yang baik. Tata laksana pemerintahan yang baik adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi baik swasta maupun negeri untuk menentukan keputusan. Tata laksana pemerintahan yang baik ini walaupun tidak dapat menjamin sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna, namun apabila dipatuhi jelas dapat mengurangi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Ada tiga pilar pokok dalam mendukung pencapaian Good Governance, yaitu pemerintah, masyarakat sipil dan dunia usaha. Good Governance akan tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi antara ketiga pilar tersebut memiliki interaksi yang setara dan saling bersinergi. Namun demikian, ada prasyarat agar interaksi demikian dapat terwujud, yaitu adanya kepercayaan publik, transparansi, partisipasi, dan regulasi yang sehat. Salah satu upaya untuk mewujudkan kepercayaan publik adalah dengan meningkatkan transparansi, efisiensi dan akuntabilitas yang tercermin diantaranya pada laporan keuangan Pemerintah Daerah. Laporan keuangan Pemerintah Daerah merupakan komponen penting dalam menciptakan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah.
Laporan keuangan pemerintah merupakan catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja pemerintah daerah. Pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Laporan keuangan dimaksud mencakup Neraca,  Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan  Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah inilah yang kemudian dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia  bahwa pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah serta Laporan Keuangan Kementerian dan Lembaga merupakan pemeriksaan mandatory, atau wajib dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Output atau hasil dari pelaksanaan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah tersebut, baik Pemerintah Pusat ataupun Daerah serta Laporan Keuangan Kementerian dan Lembaga adalah opini. Opini menurut Undang Undang No 15 Tahun 2004 adalah pernyataan professional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Dalam penjelasan Pasal 16 Ayat 1 UU No 15 Tahun  2004 dijelaskan bahwa pemberian opini didasarkan pada beberapa kriteria yaitu; 1. Kesuaian dengan standar akuntasi pemerintah; 2. Kecukupan pengungkapan (adequate disclosures); 3. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan 4. Efektivitas sistem pengendalian intern. Untuk opini yang diberikan, terdapat empat jenis opini yang diberikan oleh pemeriksa yakni Opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), opini tidak wajar (adverse opinion), dan pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion). Opini laporan keuangan pemerintah daerah dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut dibawah ini:
       Perkembangan Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2007 – 2009
Sumber :  IHPS Sem 2 Thn 2010
 
Dari tahun ke tahun perkembangan opini laporan keuangan pemerintah daerah menunjukkan perbaikan. Jumlah Pemerintah Daerah yang mendapatkan opini laporan keuangan wajar tanpa pengecualian meningkat setiap tahunnya. Dalam siaran pers penyerahan IHPS Semester 2 Tahun 2010, Ketua BPK RI menyatakan bahwa laporan keuangan pemerintah daerah mengalami perbaikan 2 tahun terakhir. Perbaikan opini laporan keuangan pemerintah daerah menurut Ketua BPK RI Bapak Hadi Purnomo dikarenakan perbaikan sistem pengendalian intern. Pemerintah daerah yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian, atau wajar dengan pengecualian memiliki sistem pengendalian intern yang memadai. Sementara pada laporan keuangan pemerintah daerah yang memperoleh opini tidak wajar dan tidak menyatakan perndapat memerlukan perbaikan Sistem Pengendalian Intern (SPI).
Kelemahan pengendalian intern pada LKPD yang memperoleh opini Tidak Wajar dan Tidak Menyatakan Pendapat antara lain dikarenakan belum memadainya pengendalian fisik dan aset, kelemahan manajemen kas, pencatatan transaksi yang belum akurat dan tepat waktu serta masalah disiplin anggaran. Secara umum perbaikan opini laporan keuangan pemerintah daerah menggambarkan entitas pemerintah daerah dalam menyajikan suatu laporan keuangan yang wajar telah meningkat (dalam hal jumlah entitas) walaupun peningkatan tersebut belum signifikan dalam persentase.
Laporan keuangan Pemerintah Daerah sebagai basis utama Good Governance dimana tata kelola pemerintahan yang baik tercermin dari akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan. Perbaikan opini laporan keuangan pemerintah daerah menunjukkan adanya perbaikan dari sisi akuntanbilitas dan transparansi laporan keuangan pemerintah daerah selaku lembaga publik.
Hal ini berdampak besar bagi dinamika pembangunan daerah. Laporan keuangan dengan opini baik akan menjadi informasi yang andal dan akurat bagi stakeholder. Laporan keuangan tersebut dapat digunakan sebagai alat perencanaan,  pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan yang dapat dipercaya. Bagi investor, laporan keuangan tersebut dapat menjadi informasi yang andal dan akurat guna mempertimbangkan keputusan untuk berinvestasi di daerah tersebut. Bagi masyarakat luas, laporan keuangan tersebut dapat menumbuhkan kepercayaan kepada pemerintah daerah bahwa pembayaran pajak yang dilakukan sudah dilaporkan dan dipergunakan dengan benar. Dengan demikian, secara tidak langsung laporan keuangan yang akuntabel, transparan dan beropini baik dapat mendorong pelaksanaan pembangunan dengan lebih baik, yang hasilnya dapat sebesar-besarnya untuk kemakmuran seluruh rakyat.

Inspektorat dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dalam Perspektif PP No 60 Tahun 2008

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) merupakan fase terakhir dari proses akuntansi sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Baik pemerintah provinsi maupun kabupaten diwajibkan untuk menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah paling lambat 3 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Menurut Undang Undang No 15 Tahun 2004 Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan  Negara. Laporan keuangan yang diserahkan sebagaimana diatur dalam Undang Undang No 1 Tahun 2004 sekurang kurangnya meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Termasuk di dalam laporan keuangan adalah laporan perusahan daerah. Laporan keuangan juga memuat pernyataan bahwa pengelolaan APBD telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai standar akuntansi pemerintah.
Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah merupakan suatu pekerjaan panjang dan berat, sehingga sudah semestinya semua pihak dalam lingkup pemerintah daerah bahu membahu dan bekerjasama agar laporan yang disusun dan disajikan memenuhi semua kriteria akuntansi sesuai SAP.
Bentuk kerjasama yang dipertegas oleh Pemerintah Republik ini adalah keikutsertaan Inspektorat, baik Inspetorat Provinsi maupun Inspektorat Kabupaten. Dalam PP no 60 Tahun 2008 telah dijelaskan bahwa, sebelum Laporan Keuangan Pemerintah Daerah diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan, terlebih dahulu di reviu oleh Inspektorat setempat.
Secara detail dalam pasal 57 PP No 60 Tahun 2008, Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan reviu atas laporan keuangan pemerintah daerah sebelum disampaikan Gubernur/Bupati/Walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
Selanjutnya, dalam PP No 8 Tahun 2006 pada Pasal 33,  dinyatakan bahwa review atas laporan keuangan oleh Inspektorat dalam rangka meyakinkan keandalan informasi yang disajikan didalam laporan keuangan tersebut. Reviu dimaksudkan untuk memberikan keyakinan akurasi, keandalan, dan keabsahan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan sebelum disampaikan oleh pejabat pengelola keuangan kepada kepala daerah.
Reviu menurut PP No. 8 Tahun 2006 dimaksudkan untuk memberikan keyakinan terbatas atas laporan keuangan dalam rangka pernyataan tanggung jawab (statement of responsibility) atas laporan keuangan tersebut. Pernyataan tanggung jawab memuat menyatakan bahwa laporan keuangan telah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP).
Cris Kuntadi da;am Reviu Laporan Keuangan pemerintah Pusat/Daerah menyatakan terdapat beberapa konsep review diantaranya (1) Review dilaksanakan secara paralel dengan penyusunan laporan keuangan Pemerintah Daerah. Review paralel dimaksudkan untuk memperoleh informasi tepat waktu agar koreksi dapat dilakukan segera. Laporan keuangan yang disajikan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah diajukan kepada kepala daerah sudah mengakomodasi hasil Review Inspektorat. (2) Review tertuju pada hal-hal penting yang mempengaruhi laporan keuangan, namun tidak memberikan keyakinan akan semua hal penting yang akan terungkap melalui suatu audit. Review memberikan keyakinan bagi Inspektorat bahwa tidak ada modifikasi (koreksi/penyesuaian) material yang harus dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan yang diReview sesuai dengan SAP, baik segi pengakuan, penilaian, pengungkapan dan sebagainya, (3) Review tidak memberikan dasar untuk menyatakan suatu pendapat (opini) seperti halnya dalam audit, meskipun Review mencakup suatu pemahaman atas pengendalian intern secara terbatas, (4) Dalam Review tidak dilakukan pengujian terhadap kebenaran substansi dokumen sumber seperti perjanjian kontrak pengadaan barang dan jasa, bukti pembayaran/kuitansi, dan berita acara fisik atas pengadaan barang dan jasa.
Review dapat mengarahkan perhatian aparat pengawasan intern kepada hal-hal penting yang mempengaruhi laporan keuangan, namun tidak memberikan keyakinan bahwa aparat pengawasan intern akan mengetahui semua hal penting yang akan terungkap melalui suatu audit.
Dalam melakukan Review atas laporan keuangan, aparat pengawasan intern harus memahami secara garis besar sifat transaksi entitas, sistem dan prosedur akuntansi, bentuk catatan akuntansi dan basis akuntansi yang digunakan untuk menyajikan laporan keuangan.
Kompetensi umum yang perlu dimiliki oleh pelaksana reviu antara lain; pemahaman mengenai akuntansi, khususnya akuntansi sektor publik/pemerintahan, termasuk pemahaman terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan, pemahaman mengenai sistem pengendalian intern.
Dalam pelaksanaannya, reviu berbeda dengan audit yaitu; reviu tidak menguji bukti, hanya sampai alur dari jurnal-buku besar-laporan keuangan, reviu atas sistem pengendalian intern terbatas pada pengendalian akuntansi, berupa proses akuntansi pendapatan, pengeluaran, aset, dan non-kas. Akan tetapi peran utama Inspektorat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah bukan hanya reviu, peran terpenting dari Inspektorat sebagaimana Pasal 49 PP No 60 Tahun 2008 melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah  yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, karena Laporan Keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana kalimat pembuka tulisan ini adalah fase terakhir dari proses akuntansi keuangan dan sistem pemerintah daerah. Pengawasan sesungguhnya saat pelaksanaan seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah agar dilaksanakan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah dan dalam Sistem Pengendalian intern yang memadai.

Pemeriksaan Kinerja Sebagai Amanat UUD 1945 Pasal 23 E Pada BPK RI

Dalam kearifannya, the founding fathers sejak awal mendirikan Republik ini memahami betul arti penting dari jalannya pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Sehingga pada Undang – Undang Dasar 1945 telah diberikan kewenangan kepada satu lembaga independen untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara, agar keuangan negara dikelola secara akuntabel dan transparan.
            Dalam amandemen Undang Undang Dasar 1945 pun mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara. BPK melaksanakan mandat konstitusi tersebut dengan merumuskan visinya menjadi lembaga pemeriksa keuangan negara yang kredibel untuk dapat mendorong terwujudnya tata kelola keuangan negara yang akuntabel dan transparan. Dalam pelaksanaannya, BPK dapat melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Undang Undang No 15 Tahun 2004. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Sementara itu, pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan maupun kinerja.
            Dalam penjelasan Undang Undang No 15 Tahun 2004 dijelaskan mengenai tujuan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK RI. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.
            Secara khusus, Pasal 23 ayat E mengamanatkan BPK RI untuk melakukan pemeriksaan kinerja atas pengelolaan keuangan negara. Tujuan Pemeriksaan Kinerja adalah untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan sehingga kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif.  Dalam melakukan pemeriksaan kinerja, pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan serta pengendalian intern. (Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2007).
BPK RI dalam SPKN  menyatakan bahwa pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan pemeriksaan kinerja, pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadapketentuan peraturan perundang undangan serta pengendalian intern. Pemeriksaan kinerja dilakukan secara obyektif dan sistematik terhadap berbagai macam bukti, untuk dapat melakukan penilaian secara independen atas kinerja entitas atauprogram/kegiatan yang diperiksa. Pemeriksaan kinerja menurut SPKN menguji tiga aspek “E” yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Ekonomi berarti meminimalkan cost sumber daya yang digunakan untuk suatu kegiatan, dengan mempertimbangkan kualitas yang sesuai. Efisiensi dapat didefinisikan sebagai menghasilkan yang terbaik dengan sumber daya yang tersedia. Efisiensi berhubungan dengan ekonomi dan adalah konsep yang sulit dalam organisasi pemerintah. Dalam efisiensi isu utama yang dibahas adalah penggunaan sumber daya. Konsep efisiensi umumnya dikhususkan dalam dua cara: apakah output yang sama dapat dicapai dengan sumber daya yang lebih sedikit, atau, dengan kata lain, apakah sumber daya yang sama dapat digunakan untuk mencapai hasilyang lebih baik (dalam hal kuantitas dan kualitas output).
Tujuan pemeriksaan kinerja adalah  menilai hasil dan efektivitas suatu program dan mengukur sejauh mana suatu program mencapai tujuannya dan tujuan pemeriksaan yang menilai ekonomi dan efisiensi berkaitan dengan apakah suatu entitas telah menggunakan sumber dayanya dengan cara yang paling produktif di dalam mencapai tujuan program. Dalam konsep yang lebih membumi, tujuan pemeriksaan kinerja dapat dicontohkan antara lain menilai sejauh mana tujuan peraturan perundang-undangan dan organisasi dapat dicapai, kemungkinan alternatif lain yang dapat meningkatkan kinerja program atau menghilangkan faktor-faktor yang menghambat efektivitas program, perbandingan antara biaya dan manfaat atas efektivitas biaya suatu program, sejauhmana suatu program mencapai hasil yang diharapkan atau menimbulkan dampak yang tidak diharapkan, sejauhmana program berduplikasi, bertumpang tindih, atau bertentangan dengan program lain yang sejenis, Sejauh mana entitas yang diperiksa telah mengikuti ketentuan pengadaan yang sehat, validitas dan keandalan ukuran-ukuran hasil dan efektivitas program, atau ekonomi dan efisiensi, serta keandalan, validitas, dan relevansi informasi keuangan yang berkaitan dengan kinerja suatu program.
Sebagai amanat dari UUD 1945 pasal 23 E, BPK telah melaksanakan pemeriksaan kinerja dan akan meningkatkan jumlah pemeriksaan kinerja di tahun-tahun yang akan datang. Pemeriksaan kinerja yang telah dilakukan oleh BPK RI antara lain pemeriksaan infrastruktur stimulus fiskal, pemeriksaan terhadap terjadinya wabah Flu Burung, pemeriksaan atas Penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Nasional 9 Tahun, dan lain-lain. Dalam siaran pers penyerahan IHPS Tahun 2010 semester II, BPK RI dalam mengemban kewajibannya melaksanakan pemeriksaan kinerja pada Tahun 2010 telah melakukan Pemeriksaan Kinerja atas 147 objek pemeriksaan yang terdiri dari 46 objek pada pemerintah pusat, 89 objek pada pemerintah daerah, 3 objek pada BUMN dan 9 objek pada BUMD. Pemeriksaan kinerja menghasilkan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja suatu program dan memudahkan pengambilan keputusan bagi pihak yang bertanggungjawab untuk mengawasi dan mengambil tindakan koreksi serta meningkatkan pertanggungjawaban publik, sehingga kedepannya pengelolaan keuangan negara maupun pengelolaan daerah dapat dilakukan dengan makin ekonomis, efektif, dan efisien

Tulisan ini telah dimuat di harian Palangka Post Tanggal 25 - 26 Juni 2011

Manfaat Implementasi PP No 71 Tahun 2010 Pada Laporan Keuangan Pemda


Salah satu misi pemerintahan Indonesia saat ini adalah mewujudkan pemerintahan yang bersih. Upaya konkrit dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas di lingkungan pemerintah (daerah) mengharuskan setiap pengelola keuangan daerah untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah. Transparansi yang merupakan salah satu tujuan MDGs diperlukan untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih. Laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah atau Laporan Keuangan Pemerintah Daerah adalah bentuk pertanggungjawaban sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pemerintah Pusat, Kementerian, Lembaga dan Pemerintah daerah berkewajiban untuk menyusun Laporan Keuangan Laporan keuangan merupakan sumber informasi finansial yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas keputusan yang dihasilkan. Informasi keuangan yang terdapat dalam laporan keuangan tersebut digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, baik internal maupun eksternal.
Tahun 2005 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Peraturan tersebut mengatur akuntansi berbasis kas menuju akrual (Cash towards Accrual), dan merupakan PP transisi karena UU Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara mengamanatkan pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja basis akrual. Tahun 2010, Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berbasis akrual tuntas disusun Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) dan ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah dalam PP Nomor 71 Tahun 2010. Implementasi dari peraturan tersebut, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat maupun Daerah secara bertahap didorong untuk menerapkan akuntansi berbasis akrual. Paling lambat tahun 2015, seluruh laporan keuangan daerah sudah menerapkan SAP berbasis akrual.
            Secara konsepsional hanya terdapat dua basis akuntansi, yaitu basis kas dan basis akrual. Basis di antara keduanya hanya merupakan langkah transisi dari basis kas ke basis akrual. Apabila proses transisi dilakukan dari basis kas ke basis akrual maka akan semakin banyak tujuan laporan keuangan yang dapat dipenuhi. Dengan menggunakan basis akrual, informasi yang dapat diperoleh dari basis-basis yang lain juga dapat disediakan.
Ada dua jenis basis yang umum digunakan untuk mengakui suatu transaksi, yaitu Basis Akrual (Accrual Basis), dan Basis Kas (Cash Basis). Di beberapa literatur Akuntansi Sektor Publik, ada yang menyebutkan basis Akrual Modifikasian dan Kas Modifikasian. Namun demikian, pemahaman dasar kedua basis yang modifikasian tersebut tetap pada Basis Akrual dan Basis Kas, bedanya ada pada modifikasi penyesuaian di akhir perioda. Perbedaan mendasar keduanya adalah; apabila basis akrual akan mengakui transaksi pada saat terjadinya sebagai contoh Pemda A membeli sebidang tanah senilai Rp 100 juta pada tanggal 15 Desember 2010, dan pembayaran atas pembelian tersebut dilakukan pada 13 Januari 2011. Dengan menggunakan basis akrual, Pemda A mengakui bahwa transaksi pembelian tersebut terjadi pada 15 Desember 2010, sehingga pencatatan pun dilakukan pada 15 Desember 2010.  Akibatnya, jika Pemda A di akhir tahun 2010 (31 Desember 2010) menyusun neraca basis akrual, di bagian Aktiva (Harta) bertambahlah akun aset tetap senilai Rp 100 juta, dan di bagian Utang (Kewajiban) bertambah pula akun Utang atas Aset tersebut senilai Rp 100 juta. Untuk transaksi yang sama, jika Pemda A menerapkan Basis Kas, maka transaksi diakui ketika kas dibayarkan (atau diterima, jika pada kasus penerimaan kas). Akibatnya, di neraca per 31 Desember 2010 tidak ada perubahan apa pun. Transaksi baru diakui pada 13 Januari 2011.
Basis  akuntansi yang sekarang ini diterapkan oleh pemerintah dalam pembuatan laporan keuangan pemerintah sesuai dengan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan dalam Standar Akuntansi Pemerintahan adalah dual basis. Adapun yang dimaksud dengan dual basis adalah pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran menggunakan basis kas, sedangkan untuk pengakuan aktiva, kewajiban, dan ekuitas dalam neraca menggunakan basis akrual. Penerapan akuntansi basis akrual merupakan jawaban atas penyajian informasi pertanggungjawaban keuangan daerah yang lebih informatif sehubungan dengan kinerja pemerintah dalam satu periode.
Secara yuridis, keluarnya PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Akrual mengubah haluan basis akuntansi pemerintahan Indonesia dari dual basis menjadi akrual penuh. Sesuai kesepakatan pemerintah dan DPR, implementasi basis akrual ini akan dilaksanakan secara bertahap hingga implementasi penuhnya di tahun 2015.
 Akuntansi dengan basis akrual ini dianggap lebih baik daripada basis kas, karena akuntansi berbasis akrual diyakini dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, lebih akurat, komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial dan politik. Pengaplikasian basis akrual dalam akuntansi sektor publik pada dasarnya untuk mengetahui besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pelayanan publik serta penentuan harga pelayanan yang dibebankan kepada publik. Akuntansi berbasis akrual membedakan antara penerimaan kas dan hak untuk mendapatkan kas, serta pengeluaran kas dan kewajiban membayarkan kas. Oleh karena itu, dengan sistem akrual pendapatan dan biaya diakui pada saat diperoleh atau terjadi, tanpa memandang apakah kas sudah diterima atau dikeluarkan, dan dicatat dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan. Laporan keuangan yang disusun atas dasar akrual memberikan informasi kepada penerimaan dan pembayaran kas tetapi juga kewajiban pembayaran kas di masa depan serta sumber daya yang mempresentasikan kas yang akan diterima di masa depan. Karena itu laporan keuangan menyediakan jenis informasi transaksi masa lalu dan peristiwa lainnya yang paling berguna bagi pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Pada sektor publik, keputusan tidak hanya dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi saja, tetapi banyak keputusan politik dan sosial seperti pengangkatan atau pemberhentian menteri dan penjabat pemerintah, serta pemberian bantuan program kepada kelompok-kelompok masyarakat tertentu sangat tergantung kepada pertimbangan ekonomi pemerintah.
Tujuan umum pelaporan keuangan dengan basis akrual mempunyai peran akuntabilitas dan peran informatif, sehingga laporan keuangan dapat memberikan informasi kepada pengguna. Dengan laporan keuangan berbasis akrual pengguna dapat melakukan penilaian atas kinerja keuangan, posisi keuangan, aliran arus kas suatu entitas, kepatuhan entitas terhadap undang-undang, regulasi, hukum dan perjanjian kontrak. Laporan keuangan berbasis akrual juga dapat membantu pengguna internal dalam pengambilan keputusan tentang penggunaan sumber daya dalam menjalankan suatu usaha.  Dalam masa transisi sampai dengan 2015, implementasi standar akuntansi pemerintah berbasis akrual menurut Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Kementerian Keuangan, Sonny Loho, kendala implementasi standar akuntansi pemerintah antara lain adalah SDM yang berkompeten di bidang akuntansi, ketersediaan sarana/prasarana, ketersediaan anggaran, kapasitas manajemen, kemauan politik. Sementara itu strategi yang dapat dilakukan dalam menerapkan peraturan tersebut adalah  komitmen pimpinan  kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, penyediaan SDM yang kompeten, peranan APIP sebagai mitra penyusunan dan penyajian laporan keuangan, penyempurnaan sistem akuntansi, pengelolaan BMN/BMD, mengintensifkan rewards and punishments, diperlukan forum komunikasi untuk mendiskusikan temuan/laporan audit.